Rabu, 29 Agustus 2018

Artikel Resensi Buku Fiksi (Novel)



 RESENSI NOVEL “LUBANG DARI SEPARUH LANGIT”


Judul Buku           : Lubang dari Separuh Langit
Penulis                   : Afrizal Malna
Penerbit                 : AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta)
Tahun Terbit         : 2004
Jumlah Halaman  : xi + 154 halaman
Ukuran Buku        : 13 cm x 19 cm
Cetakan                 : cetakan pertama
Sinopsis                 :          
Buku novel berjudul Lubang dari Separuh Langit karya Afrizal Malna tersebut menceritakan tentang seorang wanita bernama Candi. Ia mengumpulkan potongan-potongan kuku yang digigitinya. Potongan-potongan kuku itu ia kumpulkan di dalam toples gelas. Setelah sembilan bulan, ia menyusun potongan-potongan kuku itu dan mulai merekamnya dengan kamera video. Kukunya merekam lebih banyak peristiwa daripada kemampuan ingatannya.
Tiga hari kemudian ia meninggalkan kotanya yang selama 40 tahun ia huni. Kampung tempat tinggalnya di kota baru tidak pernah sepi. Di sana Candi mulai mengenal Neneng, janda muda yang bekerja sebagai pelacur. Kata Neneng, tidak ada yang dibayangkannya selain ibu dan adik-adiknya yang harus dihidupi oleh Neneng.
Malam itu Candi tidur agak larut. Tiba-tiba ia mendengar suara keras menghantam pintu rumah. Seorang lelaki penuh luka menggelosor dari balik pintu. Candi mulai merawatnya sejak saat itu karena sampai pagi lelaki itu belum sadar juga. Tiba-tiba ada suara ketokan pintu. Seorang preman kampung bernama Salim yang wajahnya membuat orang lain ketakutan melihatnya. Ia mengaku sebagai temannya Jejak, lelaki penuh luka yang semalam datang ke rumah itu. Salim berkata bahwa Jejak telah membunuh seseorang.
Malam itu Jejak dan Wahid duduk berhadapan di atas perahu dipisahkan oleh sebuah meja kecil ditemani sebotol minuman keras. Wahid ingin menguasai wilayah yang selama 3 tahun aman di tangan Jejak. Perdebatan tersebut membuat kedua preman itu berkelahi dan Wahid tenggelam di sungai sementara Jejak yang penuh luka menepi di bibir sungai.
Suatu hari di ujung gang, Candi melihat ada sebuah mobil trantib sedang berjaga dan siap menyergab melintasnya becak yang sedang mereka buru. Seorang ibu yang sedang memaki-maki trantib itu ditonton oleh orang-orang kampung. Kemudian malamnya ketika sudah hampir pukul 2 pagi, sebuah becak meluncur tenang di jalan sepi itu. Tiba-tiba muncul mobil trantib dari belakang dengan kecepatan tinggi menabraknya. Petugas trantib menyergab penarik becak dan sebagian lain menaikkan becak ke atas mobil. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan melempar penarik becak ke jalanan setelah dipukuli. Candi dan beberapa penarik becak lain mengunjunginya yang sudah meninggal itu di kamar mayat. Para penarik becak duduk di lantai kamar mayat mendoakan si penarik becak yang telah meninggal itu.
Esoknya, tiga ribu lebih penarik becak melewati jalanan utama kota dengan maksud menuntut gubernur ke pengadilan. Kampung bantaran sungai tempat tinggal Candi akhirnya digusur dan rumah-rumah dirobohkan. Entah darimana datangnya api, salah satu mobil trantib terbakar dan seorang trantib terlempar, Jejak memburunya. Pada akhirnya Jejak tertangkap. Kampung itu tinggal reruntuhan. Sejak itu, rumah Candi digunakan sebagai tempat sementara untuk orang-orang yang tergusur rumahnya. Jejak dipenjara. Ia kembali setelah 7 bulan berlalu.
Saat masa kanak-kanak, Bayang sering mengenakan pakaian ibunya saat beliau pergi. Panjang rok ibunya melebihi ukuran tubuhnya. Ibu yang  ia rindu. Kini Bayang berada dalam pakaian Candi. Apa yang dilakukan Candi jika dia melihatnya memakai pakaian miliknya? Pakaian itu kemudian dilepasnya. Ia mengambil semua pakaian yang dijemur itu dan mulai melipatnya satu persatu.
Bayang meninggalkan rumah dengan memakai pakaian Salim. Perasaan senang mulai menghiburnya saat ia berjalan dengan pakaian orang lain. Ia tidak jadi pergi ke pasar dan malah mejeng di sebuah halte bis. Segera ia lepas pakaian Salim dan menggantinya dengan pakaian Candi.
Bayang menyetop taksi yang membawanya ke kampung di bantaran sungai yang baru saja digusur itu. Sebagian orang sempat memandang kehadiran Bayang di kampung yang telah tergusur itu. Sebagian penduduk mulai memasang tenda untuk tidur nanti malam. Beberapa warga tampak sedang berkumpul membicarakan nasib anak-anak mereka.
Bayang melihat Neneng duduk bersandar di sebuah tembok sisa gusuran. Ia kehilangan tas berisi perhiasan beserta surat gadaian TV saat trantib merubuhkan kamar kontrakannya. Neneng mulai mengeluarkan uneg-unegnya kepada Bayang.
Pagi harinya Bayang kembali datang ke kampung yang telah tergusur itu dengan memakai pakaian Jejak. Ia melihat Candi di antara ibu-ibu. Saat itu Candi sedang mewawancarai seorang ibu. Ia melewati Candi yang tak mengenalinya. Ia kembali menuju ke rumah Candi. Ia masuk ke bagian dalam rumah. Tiba-tiba pintu berusaha dibuka dari luar. Karena dikunci, Bayang harus segera membukanya karena mungkin yang datang adalah Candi. Ia membuka pintu, membuat Candi terkejut. Candi tidak tahu siapa Bayang sehingga ia mengenalkan dirinya pada Candi bahwa ia adalah temannya Jejak. Setelah beberapa waktu membicarakan tentang Jejak, ia merasa tidak punya alasan lagi untuk berlama-lama di rumah Candi. Kemudian ia pamit. Bayang merasa Candi kurang menyukai kehadirannya.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu, seorang ibu korban gusuran yang pernah diwawancarai Candi taun lalu datang mengunjunginya. Ibu itu telah membentuk kelompok tabungan bersama ibu-ibu lain yang hidupnya miskin. Dan tiba-tiba ibu itu bertanya kenapa Candi tidak menikah. Karena Candi menjawab tidak tahu, ibu itu menawarinya untuk ikut bergabung bersama mereka. Sejak itu Candi mulai melakukan berbagai kegiatan ibu-ibu bersama mereka. Di kelompok itu, hubungannya dengan Bu Timah yang pernah ia wawancarai bertambah dekat.
Pagi itu mereka sedang mempersiapkan aksi ke kelurahan agar bisa mendapatkan KTP. Seluruh lahan di kota itu telah menjadi lahan komersial. Pada saat yang sama, tampak usungan jenazah yang meninggal semalam kembali lagi dikarenakan kelurahan tidak memberikan surat penguburan hanya karena mayat tidak memiliki KTP. Ibu-ibu dan pengantar jenazah kemudian mendatangi kelurahan. Akan tetapi tuntutan tidak bisa dipenuhi.
Semakin lama Candi merasa dirinya tidak berarti untuk mereka. Ia menjadi sangat sensitif setelah itu. Ia kesepian. Dan pada suatu malam, hampir pukul 2 pagi ia bangun. Ia mulai melangkah menyusuri bibir sungai. Kakinya mulai menuruni bibir sungai. Ia mulai tenggelam. Tiba-tiba ia merasakan ada tangan yang menarik rambutnya ke atas, membuat tubuhnya terseret di bibir sungai. Lelaki itu ternyata adalah Salim, teman Jejak.
Setelah itu Candi hidup bersama Salim di gubuknya. ia mengikuti permintan Salim untuk bekerja sebagai pelacur. Candi meminta Salim untuk menikahi perempuan lain tetapi Salim tidak mau. Dengan perasaan sedih Candi pergi meninggalkan Salim. Sejak saat itu ia tak pernah bertemu lagi dengan Salim.
Suatu hari Neneng tiba-tiba datang di depan pintu gubuk Candi. Ia bercerita bahwa sudah dua bulan ini ia menikah dengan Salim. Candi terpukau dengan kenyataan ini. Neneng pergi dengan meninggalkan kartu namanya untuk Candi. Kartu nama Neneng kemudian dikunyah dan ditelannya.

Kelebihan       :
·         Buku ini sangat menarik dari segi judul karena digambarkan secara konotasi
·         Mengandung berbagai majas yang indah
·         Kata-kata penulis dalam menggambarkan setiap paparan kejadian sangat menarik
Kekurangan  :
·         Penulisan naskah tidak menggunakan tanda petik dalam tiap dialog yang ada
·         Alur cerita kurang jelas
·         Penulis tidak menjelaskan gambaran tokoh-tokohnya secara jelas dan rinci
·     Terlalu banyak penggambaran kejadian dengan kalimat yang berbelit-belit sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami isi cerita
Kritik saran   :
Buku novel berjudul Lubang dari Separuh Langit karya Afrizal Malna kurang tepat jika dibaca oleh anak remaja, atau lebih tepatnya hanya pantas dinikmati oleh orang dewasa karena beberapa kali penulis menggambarkan adegan yang kurang pantas diketahui orang yang belum dewasa. Selain itu, buku tersebut terlau banyak memaparkan permasalahan sosial yang tidak jelas penyelesaian masalahnya.
Penulis diharapkan lebih berhati-hati lagi dalam memilih kata yang akan digunakan. Selain itu, penggunaan tanda baca, khususnya tanda petik dan cara penulisan dialog harus lebih diperhatikan agar tidak menyalahi kaidah penulisan yang benar dan supaya pembaca lebih nyaman dalam menikmati setiap alur ceritanya.
Kesimpulan    :
Buku novel berjudul Lubang dari Separuh Langit karya Afrizal Malna memaparkan kehidupan sosial yang masih sering terjadi dalam kehidupan saat ini, khususnya bentrokan antara alat pemerintah dan masyarakat kalangan bawah yang pada novel tersebut digambarkan melaui warga kampung dan petugas trantib. Penulis menggambarkan berbagai aksi warga kampung melewati tokoh utama bernama Candi yang seakan ikut berperan dalam setiap kejadian.
Daftar Pustaka:
Malna, Afrizal. 2004. Lubang dari Separuh Langit. Yogyakarta: AKYPRESS

Jumat, 26 Februari 2016

LAPORAN PERJALANAN KE SOLO


LAPORAN PERJALANAN PEMBELAJARAN LUAR SEKOLAH DI SOLO
(Puput Indah Dwijayanti)

Selasa, tanggal 16 Februari 2016, SMA Negeri 2 Magelang mengadakan Pembelajaran Luar Sekolah (PLS). PLS tersebut dilaksanakan di PT. Sri Rejeki Isman Tekstil di Jalan K.H. Samanhudi No. 88, Jetis, Sukoharjo 57511, Solo, Jawa Tengah, Kabupaten Solo dan di Museum Sangiran di daerah Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Para peserta mayoritas terdiri dari para siswa kleas X. terdapat juga guru pendamping di setiap rombongan. Rombongan tersebut terbagi dalam enam bus, bus satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam. Setiap kelas dibagi menjadi 6 kelompok. Jadi, setiap bus terdapat 9 kelompok yang masing-masing berbeda kelas.
Tujuan dari Pembelajaran di luar lingkungan sekolah ini adalah untuk mempelajari tentang cara pembuatan tekstil di PT. Sri Rejeki Isman Tekstil dan mengetahui berbagai macam fosil manusia purba yang ada di Sangiran. Semua itu dapat menjadi bahan ajaran yang berharga bagi semua orang, terutama siswa-siswa SMA Negeri 2 Magelang.
Paginya semua siswa kelas X serta para guru pendamping datang ke SMA Negeri 2 Magelang terlebih dahulu sekitar pukul 06.30 WIB. Kemudian semua siswa berjalan menuju tepi jalan raya untuk menunggu bus. Kami menunggu beberapa menit hingga akhirnya bus datang. Setelah bus masing-masing rombongan sudah kami temukan, kami masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang sudah diatur sebelumnya. Setiap siswa sudah mendapat jatah tempat duduk masing-masing sehingga tidak ada yang berebut. Sebelum berangkat, guru pendamping dan bapak pemandu perjalanan mengabsen kehadiran siswa supaya tidak ada yang tertinggal. Setelah semua siswa sudah hadir dalam bus, bus bersiap-siap memulai perjalanannya. Sebelum berangkat kami semua berdo’a terlebih dahulu supaya selamat dalam perjalanan dan sampai pada tujuan hingga kami kembali ke rumah masing-masing. Kemudian bus berangkat sekitar pukul 07.15 WIB dari SMA Negeri 2 Magelang. Di dalam bus, pemandu mulai menjelaskan tentang tujuan perjalanan kami. Dengan sedikit basa-basi sang pemandu juga memperkenalkan dirinya dan rekannya, pak sopir. Di dalam bus, kami juga diputarkan berbagai macam lagu. Mulai dari lagu jaman dulu, lagu pop, sampai lagu koplo diputar pada tv yang terletak di depan bus dan di tengah bus. Terdapat dua tv yang disediakan untuk kami. Para siswa mayoritas sehat, sehingga tidak ada yang menampakkan rasa mualnya mengendarai bus. Di perjalanan bus juga berhenti di pom bensin jika beberapa siswa meminta ke kamar kecil karena sudah tidak tahan ingin segera membuang air kecil. Sekitar pukul 10.30 WIB Rombongan dari SMA Negeri 2 Magelang sampai di PT. Sri Rejeki Isman Tekstil.

Kunjungan ke Tempat Pembelajaran

1.     PT. Sri Rejeki Isman Tekstil

Tempat pembelajaran yang pertama kami kunjungi yaitu PT. Sri Rejeki Isman Tekstil yang terletak di Jalan K.H. Samanhudi No. 88, Jetis, Sukoharjo 57511, Solo, Jawa Tengah, Kabupaten Solo. Suhu di sana terasa sangat panas. Para siswa turun dari bus dan berjalan menuju pabrik produksi berbagai macam pakaian. Pada awalnya kami kira kami tidak dapat masuk karena salah satu ibu guru pendampig meminta kami berbalik ke bus masing-masing. Tapi setelah itu kami dipersilahkan masuk ke ruang pabrik produksi dengan berbaris tiga-tiga. Kami hanya berjalan mengelilingi ruang produksi dengan tertib dan tanpa berisik. Ada banyak sekali mesin jahit dan mesin-mesin lain yang membantu proses produksi. Tapi tak ada pemandu yang menjelaskan tentang berbagai proses produksi.


Ruang produksi
Setelah mengitari ruang pabrik produksi pakaian, kami masuk bus kembali dan dibawa pada sebuah bangunan yang merupakan tempat penjualan dari hasil produksi pakaian. Berbagai macam pakaian dapat dibeli di ruangan tersebut. Selain pakaian, kami juga melihat kain-kain yang tergulung dengan sangat rapi. Ada berbagai macam warna, gambar, serta motif yang disediakan. Kain-kain tersebut dapat dibeli dengan harga yang sudah ditentukan. Tapi sebagian besar dari kami tidak membeli pakaian karena terlalu bingung dan beberapa pakaian tergolong mahal. Sebagian para siswa juga asyik berfoto ria dengan teman-temannya. Setelah semua kegiatan itu selesai, kami kembali ke bus masing-masing dan mengambil perjalanan lagi menuju Sangiran. Sebagian besar para siswa kecewa dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di PT. Sri Rejeki Isman Tekstil karena tidak ada satupun pembelajaran yang dapat kami ambil. Berdasarkan jadwal agenda dan rencana yang ada, kami seharusnya mempelajari produksi tekstil dari cara pengolahan untuk membuat kain hingga cara pembuatan pakaian dan penjualannya. Namun kami tidak dipandu untuk mempelajari berbagai cara produksi tekstil. Berdasarkan sumber yang ada, katanya ada tamu VIP yang datang ke PT. Sri Rejeki Isman Tekstil yang bekerja sama dan tidak dapat diganggu gugat. Jadwal yang disediakan untuk kami seharusnya sekitar jam 08.30 sampai jam 09.00 WIB . namun karena pemberitahuan tersebut mendadak, rombongan dari SMA Negeri 2 Magelang tidak dapat menyesuaikannya. Sehingga para siswa sedikit kecewa dengan kejadian tersebut dan gagalnya pembelajaran di PT. Sri Rejeki Isman Tekstil. Kemudian pada pukul 12.00WIB bus berhenti di salah satu restoran. Tapi kami tidak turun karena ternyata makan siang untuk kami disediakan dalam bentuk box makanan. Jadi, kami memakan bekal makan siang kami di dalam bus sambil berjalan menuju Sangiran.

2.     Museum Sangiran


Bus menuju Sangiran di daerah Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Setelah tiba di Sangiran, sebagian besar para siswa mencari kamar mandi yang sudah disediakan di sana. Setelah itu, kami memasuki museum Sangiran. Terdapat berbagai macam fosil dan peninggalan manusia purba. Semua terpajang dengan lengkap. Ada juga bapak pemandu yang menjelaskan satu demi satu cerita tentang peninggalan yang ada. Ada tulang dari gajah purba, kepala manusia purba yang ada di Sangiran, dan juga fosil kepala kerbau yang ditemukan. Itu menunjukkan bahwa dahulu Sangiran adalah daerah yang kaya akan bahan makanan dan subur sehingga banyak hewan yang menetap di kawasan ini. Terdapat tiga museum yang ada.
Tulang gajah purba

Setelah selesai mengunjungi Museum Sangiran, kami mendapat waktu untuk membersihkan badan dan melaksanakan salat. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Grosir Solo (PGS).
3.     Solo Square

     Pada awalnya rombongan berniat untuk berbelanja oleh-oleh di Pasar Grosir Solo. Namun pada akhirnya kami memutuskan berbelanja di Solo Square di Jalan Selamat Riyadi No. 451-455, Jawa Tengah 68111 karena PGS pada waktu itu sudah tutup. Lalu kami tiba di Solo Square pada pukul 17.00 WIB. Di sana kami dipersilahkan untuk berbelanja. Namun sebagian siswa tidak berbelanja. Mungkin karena mereka terlalu bingung dengan berbagai macam barang. Atau mungkin karena harga barang-barang yang dijual teramat mahal. Setelah dua jam kami mengitari Solo Square, kami menuju bus masing-masing dan bersiap-siap kembali ke sekolah pada pukul 19.00 WIB. Beberapa siswa tidak merasa puas dengan belanja-belanja yang dilakukan di Solo Square.
Sisi dalam Solo Square
     Setelah beberapa jam perjalanan para siswa tempuh, akhirnya kami dapat sampai di SMA Negeri 2 Magelang dalam keadaan selamat dan tidak banyak siswa yang sakit. Bus sampai di sekolah pada pukul 23.15 WIB. Orang tua dari siswa-siswa menjemput putra-putri mereka di sekolah. Dan hari itu adalah hari yang sangat melelahkan, menggembirakan, namun ada juga yang kecewa dengan perjalanan ini. setiap siswa memang memiliki pikiran dan pendapat tersendiri dalam mengungkapkan pendapat.

CERITA PENDEK


DESISAN DI PERSIMPANGAN
(Puput Indah Dwijayanti) 

Senja telah bergulir menjadi sang malam. Cahaya matahari yang sejam lalu masih menyinari kini telah menenggelamkan dirinya dalam kegelapan. Bahkan dinginnya udara malam mulai mengendap-endap masuk dan menembus pori-pori kulit. Tapi masih tak ada yang berubah dari gadis itu. Ia masih saja melamun sambil terisak pelan. Jaket hangat berwarna biru muda masih setia menyelimuti tubuhnya. Gadis itu hanya bisa duduk terpaku di sudut kamar. Kakinya tertekuk dan tangannya mendekap tekukan kaki itu. Sesekali tangannya mengusap kedua belah pipi yang terbasahi oleh genangan air mata. Lalu aku mendekatinya dan berjongkok di depannya. Dia menatapku. Aku pun berusaha memahami apa yang sedang terjadi padanya.
“Rina, kamu kenapa menangis?” tanyaku padanya yang masih belum beranjak dari sudut kamar itu. “ceritalah pada Mbak. Siapa tau Mbak bisa membantumu.” Aku merangkul punggungnya dan dia mengusap kedua belah pipinya lagi.
“Rina rindu ibu, Mbak Citra. Dia tidak mau keluar dari kamar sejak dua hari yang lalu. Kenapa seperti ini, Mbak?” pandangan Rina tertuju padaku. Mata bulatnya menatap dengan penuh harapan. Harapan bahwa dia akan mengerti mengapa ibu tak kunjung keluar dari kamar.
“Tak ada apa-apa, Rina. Ibu hanya lelah. Dia butuh istirahat beberapa waktu. Mbak tahu apa yang sedang ibu rasakan. Ibu hanya butuh istirahat.” Lalu aku berusaha meyakinkan Rina bahwa ibu baik-baik saja. Tapi apakah kenyataannya begitu? Sudah dua hari ibu tidak mau keluar dari kamar. Makannya tidak lancar. Pikiran ibu hanya tertuju pada Mbak Shofi yang sekarang sedang kuliah di salah satu universitas di Semarang. Dia tinggal bersama ayah kandungnya. Sebenarnya ayah bisa saja mengirimkan uang sebanyak yang Mbak Shofi butuhkan. Tapi Mbak Shofi tak mau. Ia tak mau menerima uang dari ayah tirinya sepeserpun. Bahkan kata ibu, Mbak Shofi sudah mau menikah. Hanya saja ayah belum mengizinkannya sampai kuliahnya benar-benar tuntas. Ayah sangat sayang kepada Mbak Shofi meskipun Mbak Shofi tak pernah mau menganggapnya ayah. Ayah hanya bisa menjadi om di hidup Mbak Shofi. Mbak Shofi selalu memanggilnya Om Darma. Dua minggu yang lalu Mbak Shofi memutuskan untuk pergi dan tinggal di Semarang bersama ayah kandungnya. Sebelum ia pergi, ibu sempat menahan. Mbak Shofi hanya bilang bahwa suatu saat dia akan pulang. Setiap senja datang ibu selalu menunggu. Di tepi persimpangan yang tak jauh dari rumah itulah ibu  selalu menanti. Ada kursi memanjang di tempat itu. Tapi Mbak Shofi tak pernah muncul. Mungkin sebenarnya hati ibu kecewa. Tapi beliau selalu menghibur hatinya dengan berpikir ‘mungkin ada halangan yang menghambat Shofi karena perjalanan dari Semarang ke Tegalrejo di Magelang memang jauh’. Hingga dua hari terakhir ibu tak lagi melakukan hal yang sama. Beliau tak menjemput Mbak Shofi yang memang tak datang. Aku belum tahu mengapa ibu tak melakukannya lagi. Apakah ibu sakit belakangan ini?
Rina masih kelas 9 di bangku SMP. Sebentar lagi ada ujian menghampiri. Tapi ia sering cerita padaku bahwa pikirannya selalu kacau memikirkan nilai yang dituntut oleh gurunya. Setiap orang memang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Hanya saja apa salahnya jika dia mencoba belajar dengan keras untuk meraih nilai tertinggi meskipun jika hanya dibayangkan itu sangat mustahil. Aku selalu menyemangati Rina supaya suatu saat dia bisa sukses. Aku pun yang masih duduk di bangku kelas 10 SMA belajar dan berusaha untuk menjadi yang terbaik dan yang terpenting aku harus sukses. Aku ingin membahagiakan ibu dan ayah. Tak seperti Mbak Shofi yang lari meninggalkan rumah dan jarang memberi kabar hingga seisi rumah cemas memikirkannya. Aku tak ingin membuat ibu sakit. Mungkin niat Mbak Shofi benar. Dia ingin sukses. Tapi kelakuannya pergi dari rumah meskipun ibu tak setuju salah.
Setelah keluar dari kamar Rina, aku berjalan memasuki kamarku. Kuraih ponsel yang sudah sedari siang tadi sengaja tak kupegang. Ada 3 misscall dari Mbak Shofi. Selain itu dia meninggalkan pesan. ‘Citra, aku akan pulang lusa. Mas Deni juga ikut. Aku sama Mas Deni mau menikah di rumah saja. Titip salam buat ibu dan Om Darma ya,’ begitulah isi pesan dari Mbak Shofi. Singkat dan jelas. Ternyata dia akan menikah dengan seseorang bernama Mas Deni. Aku belum mengerti seperti apa calon suami kakakku itu. Apakah setelah mereka menikah Mbak Shofi akan menghilang? Aku harap tidak. Aku ingin Mbak Shofi menjaga ibu sampai ibu tua nanti.
Aku memanggil Mbak Shofi dengan ponselku. Tak ada tanda-tanda penyambungan. Ternyata ponselnya tidak aktif. Memang benar sudah tidak aktifkah atau ini hanya alasan Mbak Shofi untuk menghindari komunikasi denganku. Atau mungkin dia sangat sibuk dengan mata kuliahnya sehingga ia tak ingin di ganggu. Secepat mungkin kakiku melangkah mendekati ruang kamar ibu. Pintu itu terlihat setengah membuka. Dalamnya masih gelap. Mengapa ibu tak menyalakannya? Apakah ibu tidur? Kemudian aku memasuki ruangan di samping ruang keluarga itu. Aku langsung menyalakan lampu untuk menerangi ruangan. Terlihat seorang wanita yang sedang tertidur di atas tempat tidur. Di sudut matanya masih terlihat bekas aliran air mata. Mungkin tadi ibu menangis. Melihat ibu yang belum terselimuti, aku langsung mengambil selembar kain hangat itu. Selembar kain itu kuselimutkan ke permukaan badannya. Tiba-tiba mata itu terbuka. Wajah itu terlihat sangat lelah dan sedikit pucat. Lalu aku duduk di tepi tempat tidur itu.
“Ibu kenapa? Apa ibu baik-baik saja?” tanyaku pada ibu yang disusul dengan gelengan kepalanya. “Ibu sakit?” tanyaku lagi.
“Tidak.” Jawabnya singkat.
“Ibu terlihat sangat lemas. Ibu mau makan?” tanyaku lalu memegang tangan ibu. Tangannya sangat dingin.
“Ibu tidak lapar,” jawabnya singkat lagi. Muka itu masih terlihat sedih. “Kapan Shofi pulang, Nduk?” Tanya ibu tiba-tiba mengagetkanku.
“Ibu rindu Mbak Shofi?” tanyaku yang kemudian disusul dengan anggukan ibu. Kemudian ibu menegapkan badannya dan duduk di sampingku.
“Iya. Kata Shofi, dia akan pulang. Ibu selalu menunggunya. Setiap sore ibu menjemputnya di tepi persimpangan. Tapi dia tak pernah muncul. Kenapa dia tega membohongi ibu, Nduk?” kata ibu mengingatkanku bahwa tadi Mbak Shofi mengabari. Dia akan pulang.
“Bu, Mbak Shofi akan pulang besok. Tadi dia menelepon Citra. Tapi Citra meninggalkan ponsel Citra di kamar sehingga Citra tak tahu. Tapi Mbk Shofi mengirim pesan. Dia akan pulang bersama calon suaminya.”
“Benarkah?” raut muka ibu langsung berubah. Ada guratan bahagia yang menyelubungi wajahnya. Bibirnya tersenyum. Lalu aku mengangguk. Dengan secepat kilat ibu langsung beranjak dari tempat tidur. Beliau berjalan keluar.
“Ibu mau kemana?” tanyaku yang langsung memegang tangan ibu.
“Ibu mau ke dapur. Ibu mau memasakkan Shofi makanan kesukaannya.” Kata ibu dengan bibir masih tersenyum.
“Tapi ini sudah malam, Bu. Kenapa mendadak begini. Mbak Shofi tak butuh makanan. Mungkin dia cuma meminta restu dari ibu dan menikah. Setelah itu dia akan pergi lagi.”
“Tidak! Dia tidak akan meninggalkan ibu lagi.” Lalu ibu berjalan ke dapur. Sampai dapur ibu membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan makanan. Aku mencemaskan ibu yang sepertinya sedang tidak sehat. Aku juga takut ibu akan kecewa lagi.
“Bu, ini sudah malam. Sebaiknya ibu tidur saja. Kalau ibu mau memasak lebih baik besok saja.” Ibu tak menghiraukan perkataanku. Beliau melanjutkan keinginannya untuk memasak. Untuk apa aku berdiri di sini dan meminta ibu menghentikan pekerjaannya? Lebih baik aku memikirkan tugas yang aku punya untuk esok hari. Oh iya, aku masih harus membuat laporan tentang cerita perjalanan ke suatu museum yang harus dikumpulkan lusa. Kemudian aku berjalan kembali ke kamarku.
Setelah mengerjakan tugas, aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Tubuh ini terasa sangat lelah. Pikiranku juga belum bisa tenang. Apakah Mbak Shofi benar-benar akan pulang besok? Antara rindu dan muak aku masih belum bisa memejamkan mata. Kini pikiranku teramat kacau. Hatiku tak tahan lagi merasakan gejolak yang semakin terasa panas membakar di dada. Masih teringat dalam pikiranku apa yang ibu katakan dua bulan yang lalu.
“Nduk, kehidupan ini memang terkadang bergejolak. Perjalanan tak bisa setenang yang kita harapkan. Selalu ada rintangan dan perjuangan yang harus kita hadapi dan jalani. Tapi jangan pernah lupa dengan hasil yang pasti sedang bersembunyi di belakang ujian hidup itu, Nduk.” Ibu mengatakan itu seperti tak pernah menghadapi beban yang berat. Tapi sekarang mengapa ibu hanya bisa termenung mengetahui bak Shofi yang pergi meninggalkan keluarga ini. Apakah Mbak Shofi lupa dengan kampung halamannya? Apakah Mbak Shofi lupa dengan wanita tua yang dulu pernah melahirkannya? Entah karena lupa atau sengaja menghilang dari hidup ini. Yang aku tau aku tak ingin mengingatnya lagi. Mungkin kini dia sudah bahagia dengan calon suaminya yang mapan itu. Kakak satu-satunya yang aku punya mungkin tak peduli lagi dengan ibu yang tiap hari menantinya untuk pulang. Sampai ibu harus panas dingin badannya karena sakit dan demam. Kenapa sekarang ibu selemah ini menghadapi Mbak Shofi yang bahkan sudah tak mempedulikannya? Aah… aku tak mengerti dengan mereka semua. Terlalu pahit mengingat kepergian kakak satu-satunya. Masih teringat bagaimana perselisihan dua minggu yang lalu ketika Mbak Shofi bersikeras meninggalkan rumah.
“Ibu, aku mau pergi sekolah. Om Darma dan ibu harusnya bangga melihat putrinya semangat menuntut ilmu,” kata Mbak Shofi semalam sebelum kepergiannya itu.
“Nduk, kamu mau tinggal di mana? Kenapa tidak ke universitas yang dekat saja supaya kamu bisa pulang?” kata ibu mencegah kepergian putrinya itu.
“Iya, Nduk. Kamu kan juga masih butuh biaya dari Om,”
“Enggak, Om. Aku akan tinggal dengan ayahku. Om gak usah khawatir,”
“Kamu ingin meninggalkan Ibu? Ibu sangat menyayangimu, Nduk.” Kata ibu sembari memegang tangan Mbak Shofi.
“Shofi akan pulang, Bu. Biarkanlah Shofi pergi. Shofi janji akan pulang suatu saat.” Lalu tangan ibu dilepaskannya dengan pelan. Ibu tak dapat menahannya lagi. Mbak Shofi langsung pergi berjalan mendekati taksi. Dia tak mempedulikan ibu yang belum rela melihat kepergian putri tercintanya itu. Begitu Mbak Shofi masuk ke mobil, terdengar rintihan yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Isak tangis itu semakin keras. Tapi Mbak Shofi tak mempedulikan air mata yang teramat deras mengalir itu. Beberapa waktu kemudian, roda taksi mulai berputar. Desisan suara mobil semakin jauh tak terdengar. Di simpang tiga itulah mobil taksi terlihat untuk terakhir kalinya. Entah Mbak Shofi akan muncul lagi atau tidak. Tapi sejak pagi itu ibu menangis dan tak mau makan. Ibu juga tak mau masuk ke rumah sampai malam datang. Tapi setelah ayah berhasil menyadarkan bahwa Mbak Shofi tak akan kembali ke rumah hari itu juga, ibu mau masuk ke dalam rumah. Setelah kejadian itu ibu juga tidak dapat beranjak dari tempat tidurnya. Beliau sakit sampai tiga hari. Kata ayah, ibu juga sering mengigau tentang Mbak Shofi. Aku ingin kesedihan ibu segera berakhir.
Paginya selesai mandi dan menata diri, aku mengambil laptop untuk menyelesaikan tugas sekolahku. Hari ini hari Minggu sehingga aku masih bisa tenang tanpa memikirkan tugas sekolah terlalu banyak. Aku bisa mengistirahatkan otak yang sudah sedari kemarin terlalu pusing memikirkan pelajaran di sekolah. Aku duduk di sofa ruang tamu. Dari dalam sini aku bisa melihat indahnya hari di luar rumah. Jendela lebar dengan bahan kaca itu memberitahu tentang keadaan luar yang sangat cerah. Terlihat dedaunan menjatuhkan dirinya ke hamparan tanah luas di halaman rumah. Seketika di persimpangan itulah, ada sebuah mobil mewah. Suara desisan mobil yang berjalan tersebut semakin terdengar mendekat. Kemudian mobil itu parkir di halaman depan rumah. Lima meter dari balik jendela terlihat bayangan perempuan berparas menawan yang sedang berjalan mendekati pintu depan. Disampingnya ada sesosok lelaki berbadan tegap yang mengiringi langkah kaki sang bidadari. Bibir sang perempuan menyunggingkan senyum termanis yang tak terasa asing bagiku. Dering bel berbunyi memecah keheningan. Lalu aku membuka pintu. Kutatap wajah wanita itu. Dia terlihat lebih cantik daripada saat sebelum dia pergi.
“Assalamu’alaikum, Citra.”Dia tersenyum.
“Wa’alaikumsalam,” aku menjawab salamnya. Kemudian aku pun memanggil ibu. Ibu pun datang dan menatap kedatangannya dengan pandangan terpana seakan tak percaya. Entah ini mimpi atau sungguhan. Rasa bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Kerinduan yang tiada tara terbayarkan dengan adanya pelukan sang ibu yang tak terlepas. Ibu menitikkan air mata lagi. Tapi kali ini berbeda. Air mata itu bukanlah air mata kesedihan melainkan air mata bahagia. Ada selengkung senyum yang mengiringi linangan kebahagiaan itu. Tak kusangka, Mbak Shofi pulang…